Sejarah Gaun Pengantin
Pada abad pertengahan, warna baju dan jenis bahannya digunakan sebagai penanda status sosial seseorang. Hanya kaum kerajaan dan bangsawan saja yang bisa menggunakan bahan sutera, satin, beludru, renda, dan menggunakan warna-warna “grandeur”, seperti emas, ungu dan biru. Hal ini karena pada masa itu, teknik penganyaman benang, teknik ekstraksi zat pewarna kain dan proses pewarnaan kain dilakukan secara manual dan karena bahan-bahan yang digunakan pun tergolong sulit diperoleh sehingga kain-kain indah tersebut tidak dapat diproduksi secara massal.
Tak pelak pada masa itu, hanya gadis-gadis bangsawan yang akan merayakan pesta pernikahan mereka yang bisa mengenakan baju dan perhiasan berwarna “grandeur” tadi. Adapun gadis-gadis dari kasta sosial yang lebih rendah hanya bisa berusaha meniru bentuk baju dan penampilan para bangsawan yang menjadi trendsetter era itu. Jarang sekali mereka bisa menggunakan baju pernikahan dengan warna “grandeur” tersebut karena mahal.
Putih tetap tidak menjadi warna pilihan untuk gaun pengantin sampai tahun 1840, di mana Ratu Victoria mengenakan gaun pengantin putih saat menikah dengan Pangeran Albert of Saxe-Coburg (Yulis, 2010). Statusnya sebagai keluarga kerajaan sekaligus simbol gadis bangsawan ternama, membuat gaun pengantin putih mewah berhiaskan penuh renda Honiton Lace yang dikenakan oleh Ratu Victoria itu menjadi trendsetter berikutnya. Booming-nya gaun pengantin ala Ratu Victoria yang memiliki ciri khas gaun yang membentuk ballgown, warnanya putih kadang broken white, dan menonjolkan pinggang serta pinggul sang pengantin wanita itu menyebabkan naiknya permintaan terhadap bahan-bahan gaun putih mewah. Hal ini berdampak pada para pembuat bahan dan renda gaun pengantin kewalahan memproduksinya, karena di masa itu renda putih juga masih dibuat secara manual. Belum lagi gaun putih termasuk sulit dirawat karena kotoran yang menempel akan tampak jelas di situ. Akhirnya beberapa pengantin dari kelas sosial yang lebih rendah kembali mengenakan gaun pengantin dengan warna selain putih, kecuali warna hitam (warna berduka) dan warna merah menyala (warna yang kala itu, identik dengan the brothel house).
Sejak era Victorian itulah maka tradisi mengenakan gaun pengantin berwarna putih yang menyimbolkan kesucian itu menjadi gaya yang selalu ditiru oleh para wanita. Meski kemudian tidak hanya warna putih plain saja yang dipilih, tetapi juga bisa dengan nuansa gradasi putih seperti creme, champagne, broken-white, off white and ivory. Sampai sekarang pun yang disebut-sebut sebagai era globalisasi, putih tetap lestari di kalangan para wanita sebagai pilihan utama warna baju pengantin. Putih seolah menjadi warna privilege dan memiliki cap “For Bride-Only” yang menyertainya untuk menjadi warna baju pengantin para pengantin wanita yang ingin tampil beda dan anggun di hari pernikahannya. Bahkan tidak hanya gaun pengantin modern ala Barat saja yang memakai putih sebagai “warna resmi”; di beberapa negara, baju pernikahan bernuansa adat seperti kebaya, baju kurung, kimono dan cheongsam pun turut mengadopsi warna putih. Sebuah pantun Inggris kuno berikut ini mencoba menggambarkan “nasib” yang dibawa oleh warna baju pengantin:
Married in white, you will have chosen all right. Married in grey, you will go far away. Married in black, you will wish yourself back. Married in red, you’ll wish yourself dead. Married in blue, you will always be true. Married in pearl, you’ll live in a whirl. Married in green, ashamed to be seen. Married in yellow, ashamed of the fellow. Married in brown, you’ll live out of town. Married in pink, your spirits will sink