Sejarah Boneka Voodoo
Istilah Voodoo (Vodun di benin juga Vodou, Voudou, atau ejaan lain yang bunyinya serupa di haiti; Vudu di Republik Dominika) diberikan kepada cabang-cabang dari suatu tradisi keagamaan spiritis animis yang berasal dari leluhur bangsa afrika barat.
Akarnya beraneka ragam dan mencakup bangsa Fon, Ewe, dan Yoruba dari Afrika Barat, dari Nigeria barat hingga ghana timur. Di Benin, Vodun adalah agama nasional, dan dianut oleh sekitar 60% dari penduduknya, atau sekitar 4½ juta orang. Kata vodĂșn berasal dari kata Fon-Ewe yang berarti roh. Di tempat lain, Voodoo sangat dipengaruhi oleh tradisi-tradisi Afrika tengah. Ritus kongo, yang juga dikenal di utara Haiti sebagai Lemba mulanya merupakan agama yang dipraktikkan di antara bangsa Bakongo menyebar luas sebagai unsur-unsur Afrika Barat, namun pada umumnya diabaikan oleh banyak orang Barat.
Voodoo atau vodou atau vodoun sebenarnya adalah sebuah aliran kepercayaan baru. Aliran voodoo merupakan gabungan dari kepercayaan ‘yoruba’ afrika dgn agama katolik. Ajaran ini berkembang di kepulauan haiti, yg dumulai dgn dibawanya budak-budak berkulit hitam dari afrika barat ke kepulauan haiti oleh inggris. Setelah budak-budak hitam ini menetap di haiti, mereka secara perlahan-lahan menggabungkan kepercayaan mereka (yoruba) dgn ajaran katolik yg dianut tuan2nya bangsa inggris. Penggabungan ke 2 aliran inilah yg dinamakan voodoo. Aliran voodoo kalau di Indonesia hampir sama dengan ilmu santet. Biasanya kalo kita menyebut kata voodoo, maka yg terlintas di pikiran kita adalah seseorang memegang sebuah boneka dan sebatang paku panjang.
Menurut ajaran Voodoo, dukun ilmu hitam atau pendeta voodoo yang disebut bokor bisa menghidupkan kembali manusia yang sudah mati. Zombie tidak memiliki kemauan sendiri sehingga selalu berada di bawah kendali sang majikan. “Zombi” juga merupakan nama untuk dewa ular voodoo yang bernama damballah Wedo asal Nigeria-Kongo yang dekat dengan kata nzambi yang dalam bahasa Kongo berarti “dewa”.
Di tahun 1937, peneliti Zora Neale Hurston yang melakukan riset folklor di Haiti menemukan kasus Felicia Felix-Mentor yang meninggal di usia 29 tahun dan sudah dikubur di tahun 1907. Penduduk desa percaya bahwa mereka sering melihat Felicia yang sudah meninggal 30 tahun yang lalu masih suka berkeliaran di jalan-jalan. Kasus yang sama juga dijumpai pada beberapa orang yang lain. Zora Hurston berusaha mencari kebenaran kabar burung yang mengatakan zombie adalah manusia yang telah diberi ramuan obat-obatan, namun tidak berhasil menemukan orang yang mau membuka mulut tentang rahasia zombie.
Beberapa puluh tahun kemudian, seorang ahli Etnobotani Kanada bernama Wade Davis mengangkat kasus zombie dari sudut pandang farmakologi, dalam dua buku berjudul The Serpent and the Rainbow (1985) dan Passage of Darkness: The Ethnobiology of the Haitian Zombie (1988). Menurut hasil penelitian Wade Davis sewaktu berada di Haiti tahun 1982, ramuan dua jenis bubuk obat yang dimasukan ke dalam aliran darah (biasanya lewat luka terbuka) dapat mengubah orang hidup menjadi zombie.
Bubuk obat pertama disebut coup de poudre (bahasa Perancis untuk “obat penyerang”) yang membuat manusia dalam keadaan “seperti mati” akibat dosis tetrodotoksin. Tetrodoksin merupakan racun mematikan yang juga dikandung ikan buntal dan ikan fugu yang merupakan makanan lumrah di Jepang. Manusia yang diberi tetrodoksi dalam dosis nyaris mematikan (LD50 sebesar 1 mg), bisa berada dalam keadaan hampir mati untuk beberapa hari, tapi terus dalam keadaan sadar. Ramuan bubuk obat kedua dari tanaman genus Datura bersifat halusinogen dan membuat orang menjadi tidak memiliki kemauan sendiri.
Wade Davis juga mengetengahkan kisah orang Haiti bernama Clairvius Narcisse yang mengaku pernah menjadi dijadikan zombie. Teori Wade Davis sering ditanggapi orang secara skeptis dan kebenaran ceritanya sering menjadi sumber perdebatan. Kepercayaan voodoo masih penuh kerahasiaan yang sulit ditembus peneliti asing, walaupun sebagian orang Haiti mengakui tentang keberadaan “obat zombie”