Sejarah Awal Penggunaan Sepatu Bola
Dulu pada masa awal sepakola diperkenalkan di Inggris (sekitar pertengahan abad 18), pemain bola boleh mengenakan kasut jenis apa pun di lapangan. Sepatu dengan alas polos dan sering dipakai untuk kerja pun diperbolehkan. Sepatu wanita dengan hak agak tinggi bahkan pernah digunakan lelaki di lapangan hijau.
Kemudian, keluarlah peraturan FIFA pada 1863. Salah satunya berbunyi, "Yang tidak memakai paku menonjol, lempengan besi, atau getah karet pada sol sepatunya tidak diperbolehkan bermain”.
Aturan itu memunculkan gairah tukang sepatu di Inggris dan Eropa untuk membuat sepatu khusus sepak bola. Sebelum industri massal dimulai, tukang sepatu kebanyakan membuatnya dalam skala rumah tangga.
Pada 1895, Joe dan Jeff Foster mendirikan J.W. Foster and Sons di Bolton, Inggris, sebelum mengubahnya menjadi Reebok pada 1958. Sejak Januari 1905, Herman Jansen membuat toko sekaligus bengkel kasut di rumahnya di Kota Hengelo, Provinsi Gelderland, Belanda timur.
Industri sepatu kian menggeliat ketika adik-kakak Adolf dan Rudolf Dassler membuka pabrik dengan nama Gebruder Dassler Schuhfabrik pada 1924. Dua bersaudara itu akhirnya pecah kongsi pada 1947. Adolf membentuk Adidas dan Rudolf menelurkan Puma.
Mulai tahun 1910-an, sepatu dengan nama Cup Final Specials mendunia berkat "gigi-gigi" kayu di bagian bawah agar pemain mudah mencengkeramkan kakinya ke tanah. Ujung sepatu dibuat dengan pola anyaman agar pemain mudah menggerakkan jari kakinya selama mengontrol bola. Bentuk gigi itu seperti tabung dengan tiga paku kecil berujung tajam. Pemain harus memakukan "kuku" itu ke sol dengan palu kecil.
Ukuran gerigi itu pun bervariasi. Pemain akan memilih gigi lebih panjang untuk bermain di lapangan becek agar tidak mudah terpeleset. Salah satu tugas wasit dan asistennya adalah mengecek sol itu sebelum pemain masuk ke lapangan. Jika gigi sepatu terlalu tajam dan menonjol, pemain tak diperbolehkan masuk.